Senin, 19 Juli 2021

Menguji Ikhlas di Bulan Juli

Ujian sabar menjadi hal biasa di tahun 2020, dari menunda keinginan mudik dan tidak bertemu dengan keluarga besar, tidak ada kegiatan apalagi pertemuan, segalanya mengalami pembatasan.  Berbagai kekhawatiran dan ketakutan terjadi di awal-awal masa pandemi. Satu dua temuan kasus positif begitu menakutkan pada awalnya. Hingga waktu bergulir, sepuluh duapuluh hanyalah menunjukkan sebuah angka. Rasa percaya perlahan menghilang, lalu kembali menguat mana kala kerabat dan teman dekat begitu merasakan sakit yang begitu hebat. Kondisi sempat mengalami pasang surut diukur dari fluktuasi kasus penyebaran virus covid-19. 

Setahun berlalu menuju 2021, pagebluk belum berakhir. Pembatasan mobilitas kegiatan masyarakat masih berlaku. Di pertengahan tahun, varian baru bernama Delta muncul dan menyebar dengan dahsyatnya. Juli di tahun 2021, berita duka terjadi setiap hari berturut-turut. Kerabat, teman dekat dan orang2 yang pernah dikenal banyak berpulang lebih dulu. Tua muda, tak mengenal usia. Juli menjadi bulan terberat bagi mereka yang kehilangan orang-orang terkasihnya. Bulan dimana ujian keikhlasan itu diujikan kepada Nabi Ibrahim, bukan semata untuk menyembelih putranya, melainkan untuk menguji di batas mana rasa kepemilikan itu mampu Nabi Ibrahim tundukkan. Dan atas izin-Nya, Nabi Ibrahim merelakan putranya untuk disembelih tanpa ada keraguan sedikitpun. Maka menyaksikan kesungguhan Nabi Ibrahim, Allah mengganti wujud Nabi Ismail menjadi seekor kambing. Bukankah, dari sini kita belajar, bahwa segalanya adalah milik Allah. Dan segalanya kembali kepada Allah. Dan kita? Sungguh tidak punya apa-apa. Terkadang diri lupa, dengan titipan yang dilebihkan, merasa bahwa sepenuhnya adalah miliknya. Hingga tak jarang, lupa siapa pemilik yang sesungguhnya.

Minggu, 01 Maret 2020

Sing Lumrah

Angudi lathi anggone ngracik ukara
ngalembana lan mbebungah ati,
anyingkiri tetembungan,
kang bisa milara ati.

Geneya, nalika padha ngendika
ora nganggo duga kira,
paugeran disasak,
mblarah tekan mrana-mrana.

Kamangka,
yen wong gawe luput,
kuwi rak ya lumrah,
ora gage-gage nibakke pangipat-ipat

"Dadiya banyu ora gelem nyawuk,
dadiya godhong ora bakal nyuwek."

Dudu kaya mengkono,
sing diarani paseduluran ya, ngger.




Samirono, 23 Februari 2020

Ketidak-lengkapan

Tentang bagaimana,
ketidaklengkapan itu menjadi sebuah aib 
di mata manusia,
perbincangan yang membuat kering,
dan terus menyiksa batin,
seolah hilang sudah rasa belas kasih
dan prihatin.

Standar kemuliaan,
yang tak lagi hadirkan sisi kemanusiaan,
seolah ketidaklengkapan itu,
layak dijadikan bahan candaan,
tanpa peduli dan menoleh pada apa yang ia rasakan,
sepi dalam kesendirian,
sendiri dalam kesepian,
sendiri menaklukkan kesepian.

Rabu, 01 Januari 2020

Menjadi Harapan

Di pertengahan tahun 2019 kemarin, ada yang baru dalam catatan perjalanan mengajar saya. Takdir Allah mempertemukan saya dengan seorang siswa yang istimewa. Keistimewaan yang dia miliki adalah tidak bisa mendengar atau kebanyakan kita menyebutnya tuli. Karena keterbatasannya dalam mendengar, maka dia kesulitan untuk berbicara atau dengan kata lain dia bisu. Sebuah paket keistimewaan yang komplit dan tidak bisa saya bayangkan betapa tabahnya kedua orangtuanya kala mengetahui kondisi anaknya itu. Saya terkejut mana kala saya baru mengetahuinya setelah pertemuan pertama mengajar di kelas itu, setidaknya jika saya mengetahuinya lebih awal sebelum proses pembelajaran dimulai, saya bisa mempersiapkan diri dan mempersiapkan materi yang sesuai untuk anak itu. Tapi apa boleh dikata, kenyataannya saya baru mengetahuinya setelah pertemuan yang pertama.

Saya membiasakan siswa-siswa saya ketika dipresensi untuk menjawab, “Dalem”, “Kula”, “Wonten, Bu” sembari mengangkat tangannya. Karena basic-nya saya adalah guru bahasa Jawa, maka sudah menjadi tanggungjawab saya untuk menggalakkan pembelajaran tata krama. Ketika tiba saya memanggil namanya: Rizki, tidak terdengar respon dan gerakan mengangkat tangan, dengan sigap mata saya mencari-cari dan berusaha menemukannya. Seorang siswa memberikan kode kepada saya bahwa anak yang saya panggil namanya sedang duduk di sampingnya. Siswa itu kemudian menjelaskan dengan isyarat dan bahasa tubuh bahwa temannya itu tidak bisa mendengar dan berbicara. Seketika itu saya terkejut dan tertegun memandang wajah tampannya.

Sekitar 2 bulan, saya menjalani pendidikan profesi di Semarang. Selama menjalankan tugas pendidikan, saya menggunakan google classroom untuk membantu proses KBM. Sepulangnya saya dari sana, saya kembali mengajar dan satu minggu setelahnya harus melakukan pengambilan nilai nembang. Kesan menarik masih terngiang kala mengajar di kelas Rizki, ketika semua siswa di kelas itu sudah maju nembang dan tinggal satu anak, yaitu Rizki. Saya meminta anak itu maju ke depan dan dia berbicara dengan bahasa tubuh menjelaskan kepada saya, bahwa dia tidak bisa nembang karena tidak bisa bersuara. Saya menjawabnya, “Siapa bilang kamu akan nembang. Saya mau kamu menjelaskan isi tembang ini apa.” Akhirnya dia duduk dan mulai menjelaskan. Semula dia bercerita bahwa selama SD-SMP dan di rumah bahasa yang ia gunakan adalah Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Saya menganggap ini adalah tantangan, karena harus mengajari dia bahasa Jawa dari nol.

Selang beberapa minggu kemudian, sekolah melaksanakan ujian PAS (Penilaian Akhir Semester) berbasis android, terhitung sudah 2 semester ini sekolah kami memutuskan untuk menggunakan android. Selain menghemat penggunaan kertas, juga lebih meringankan kerja bapak/ ibu guru karena tidak perlu membawa koreksian ke rumah dan rekap nilai lebih cepat. Setelah merekap nilai anak-anak yang cukup bervariasi dan didominasi merah, saya akhirnya memberikan tugas tambahan untuk mereka. Saya meminta mereka untuk membuat sticker whatsapp bertuliskan aksara Jawa dan vlog bahasa Jawa yang kebetulan pada saat itu ada event lombanya. Semua siswa yang nilainya di bawah 80 saya minta untuk membuat itu, termasuk Rizki. Dia akhirnya konsultasi dan bertanya-tanya mengenai tugas itu. Saya berpikir jika dia bisa membuat itu setidaknya akan muncul perspektif bahwa belajar bahasa Jawa itu mudah, walaupun tentu banyak tantangannya.

Rizki akhirnya membuat vlog tentang pengalamannya belajar bahasa Jawa dan yang mengejutkan bagi saya, ternyata dia sudah menjadi vlogger sebelumnya. Konten youtube-nya cukup aktif, beruntung karena dia memiliki komunitas yang memotivasi dia untuk melakukan kegiatan-kegiatan positif. Pernah dia bilang pada saya, “Saya Rizki Tuli. Saya lebih nyaman panggilan dengan sebutan Tuli, daripada Tuna Rungu, karena memiliki identitas, budaya, bahasa isyarat dan komunitas.”

Ini link vlog yang dibuat Rizki: https://youtu.be/d1Bb3hbmOZU

Dan ini vlog siswa dari sekolah kami yang memperoleh juara 1 https://youtu.be/dTLFBnmVe18 
     
Pada akhirnya ada pembelajaran untuk saya pribadi bahwa kesungguhan itu hanya milik mereka yang mempunyai keinginan kuat dan yang di sana terselip doa serta harapan yang besar.